Jakarta – Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta, Tony Spontana, melantik Pathor Rohman menjadi Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) DKI Jakarta, dan Supardi sebagai Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan, di Aula Kejaksaan Tinggi (Kejati), Senin (15/10).
Dalam sambutannya Tony Spontana mengatakan, pejabat baru harus memiliki kapabilitas yang menonjol, memahami bentuk pemecahan masalah, loyalitas integritas dan manajerial serta menjaga kehormatan institusit yang selaras dengan visi dan misi Kejaksaan.
Lanjutnya, para pejabat yang baru saja dilantik segera cepat beradaptasi dengan lingkungan kerja masing-masing, untuk menyusun langkah strategis dan program kerja serta bertanggung jawab terhadap aparatur di bawahnya, mengerti dan memahami prinsip-prinsip managerial kepemimpinan untuk menjalankan roda reformasi birokrasi guna membentuk good governance.
“Saya berharap saudara dapat memahami tugas baru yang saudara emban, dan menjalankannya dengan santun dan berwibawa,” ujar Tony.
Dalam kesempatan itu Tony mengingatkan, pejabat yang dilantik mengerjakan peran secara optimal dan tugas juga fungsi dengan penuh rasa tanggung jawab, senantiasa dapat memberi masukan positif dan konstruktif dalam menunjang keberhasilan penegakan hukum yang sedang dan akan dilaksanakan.
“Ingatlah bahwa permasalahan sekecil apapun itu tentunya sangat penting untuk segera ditindaklanjuti. Tidak ada lagi untuk sekedar menjadi biasa atau hanya menjalankan tugas tanpa makna. Kehadiran saudara di tengah kolega dan staf harus mampu menghadirkan keteladanan dan semangat untuk maju,” tutup Tony.
Sebelumnya, Pathor Rohman adalah Wakajati Propinsi Banten. Ia dilantik menjadi Wakajati DKI Jakarta menggantikan Mudim Arsito, yang mendapat promosi menjadi Kajati Sulawesi Tenggara. Sementara Supardi dilantik menjadi Kajari Jakarta Selatan menggantikan Reimel Jesaja, yang mendapat promosi sebagai Asisren Pidana Khusus (Aspidsus) pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Selatan di Palembang.(Her)
Once extra she sprang
up on the chair, changed the dock on its nail, gave the pendulum a
persuasive pat, and descended. He was sprawling limply across the
chair, and a glance at his face informed me that he was useless.
She admitted me right into a square wainscoted hall, pushed ahead a heavy oaken chair,
and retreated with noisy steps through an arched doorway.
The “parlour” was reached by a brief passage leading
from the arched doorway. Sooner or later, he turned up on the workplace; I finished my enterprise, took my bag, and went with him to some
tea-rooms, where we had a leisurely tea, and we then went
on to his rooms, which we reached about ten minutes to six.
So I reached the broad old school porch, and pulled a bell whose handle I found among the ivy leaves.
The place reminded me of expensive old Meadow Farm,
only on a grander scale.