Forwaka Gelar Diskusi Peran Penegak Hukum Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi

oleh -55 Dilihat

forwaka 1Jakarta – Forum Wartawan Kejaksaan Agung (Forwaka), gelar diskusi publik dengan Tema “Peran Penegak Hukum Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi” di Ruang Rajawali 1 Ambhara, Jakarta Selatan.(26/4)

Hadir sebagai narasumber, Asisten Khusus Jaksa Agung Asep Mulyana, Koorsahli Kapolri Irjen Pol Iza Fadri, Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu, dan LBH NU Djoko Edhi A.

Dalam sambutannya Asisten Khusus Jaksa Agung Asep Mulyana mengatakan, saat ini peraturan yang ada seperti KUHP lebih tertuju mengatur perorangan, tidak ada satupun yang mengatur korporasi.

“Bisa dikatakan hampir tidak ada kasus kejahatan mengenakan korporasi sebagai aktor intelektualnya,” ujarnya.

Dirinya mengindentifikasikan tiga kejahatan korporasi yakni, korporasi yang sengaja didirikan untuk berbuat kejahatan seperti membuat faktur pajak fiktif, korporasi  mendapatkan keuntungan dari kejahatan, serta korporasi yang menjadi korban dari tindak kejahatan.

“Sejak tahun 2009, Kejaksaan Agung sendiri mencoba melakukan identifikasi kejahatan korporasi tersebut, termasuk membuat petunjuk teknis penangananannya.” Jelasnya.

Sementara itu, Koordinator Staf Ahli Kapolri Irjen Pol Iza Fadri menekankan, perlunya kerja sama penegakan hukum secara integratif dari proses penyidikan sampai penuntutan.

“Kalau terintegrasi akan diketahui master mind-nya, dan terutama yang harus dibahas, permasalahan korporasi yang dijadikan sebagai alat untuk tindak kejahatan.” Terangnya.

forwaka 2Lain halnya dengan Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu, beliau mempertanyakan penegak hukum yang selalu kalah jika menghadapi kasus dugaan pelanggaran hukum oleh korporasi.

“ Kenapa hasil penanganan kasusnya selalu tidak maksimal,” ujar Masinton.

Dikatakan Masinton, dalam penanganan kasus kebakaran lahan dan hutan yang dilakukan oleh sejumlah korporasi di Riau pada 2015.

“Padahal kejadian kebakaran hutan dan lahan itu menimbulkan kerugian negara mencapai Rp200 triliun, namun perusahaan itu justru mendapatkan surat penghentian penyidikan (SP3).” Ungkapnya.

Dilanjutkannya, jika kasus korporasi bergulir ke pengadilan hasilnya kurang maksimal. “Alhasil penanganan kasusnya selalu tidak maksimal, kalau tidak di-SP3-lah, ringan putusannya,” ucapnya.

Mantan Anggota Komisi III DPR dan Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, Djoko Edi S Abdurrahman menyatakan, munculnya Perma Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Kejahatan Korporasi telah memberikan harapan.

“Saya tidak yakin ius contitutum (hukum terkini) maupun ‘ius contitiendum’ (hukum masa depan) adalah itu. Sebab keduanya pada fenomena tindak pidana korupsi lebih butuh kebijakan hukum pidana yang sudah beranjak dari filsafat klasik retributif dan represif,” ungkapnya.

“Faktanya,  hanya lima kasus tindak pidana korupsi kejahatan yang korporasi yang ditangani hukum selama ini, namun tak satupun yang finish. ” Tandasnya.(Her)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *